Mengapa Harga Obat Mahal? Pertanyaan yang pernah melahirkan pameo, orang miskin dilarang sakit, itu masih ramai dibicarakan masyarakat awam. Dampak sosial yang ditimbulkan oleh berita media nasional Tempo, eksklusif: terkuak 40 persen dari harga obat buat menyuap dokter, memicu kegaduhan akar rumput.
Masyarakat awam merasa yakin dengan isu gratifikasi dokter oleh pabrik farmasi. Meski hampir seminggu sudah berita tersebut beredar, pro-kontra masih ramai menghiasi perang opini di media sosial. Posisi dokter terpojok, dihakimi oleh "ilusi" statistik.
Kali ini, Bu Menkes dan IDI diberitakan Jawa Pos datang ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk minta tolong "memberangus" praktek gratifikasi obat yang melibatkan dokter dan perusahaan farmasi. Menkes dan Ketua IDI meminta KPK membuat kajian untuk memproses dokter penerima gratifikasi. Memproses dokter penerima gratifikasi? Homo homini lupus.
Mengapa Harga Obat Mahal?
Ihwal ini telah dijelaskan pada tulisan dokter post sebelumnya, struktur biaya obat dan mitos gratifikasi 40% untuk dokter. Intinya dalam harga obat ada komponen-komponen yang membentuk harga tersebut. Bila merujuk pada tulisan Vogel (2007), memang komponen terbesar pembentuk harga obat (Perusahaan Farmasi Raksasa) adalah upaya pemasaran dan aktivitas administratif back office (34,4%). Namun apakah benar "gratifikasi" dokter menyumbang dampak signifikan untuk harga obat yang mahal di Indonesia?
Oke, mari kita sekali lagi merujuk pada tabel struktur biaya obat di atas. Disini Vogel membagi tabel tersebut menjadi dua kolom, perusahaan farmasi raksasa dan perusahaan farmasi generik. Perusahaan farmasi raksasa (e.g Pfizer, GSK, dan Novartis) memiliki struktur biaya obat yang berbeda dengan perusahaan farmasi generik (Sanbe, Interbat dan Indofarma).
Big pharma (perusahaan farmasi raksasa global) memiliki komponen biaya pemasaran dan administratif (34,4%) paling dominan. Sedangkan perusahaan farmasi lokal (generik) memiliki komponen biaya produksi (cost of sales) yang paling dominan diantara komponen biaya obat yang lain.
Seperti kita ketahui, karakteristik perusahaan farmasi lokal adalah produsen obat generik atau obat generik bermerek, yang merujuk pada tulisan Vogel (2007) memiliki rata-rata biaya produksi mencapai 50% harga obat. Sedangkan biaya pemasaran dan aktivitas administratif back office hanya kurang dari separuh dari biaya produksi (21,4%).
Apa kesimpulan goblok-goblokan-nya? Kalau pemerintah ingin menekan harga obat, yang pertama harus dipikirkan adalah mendorong efisiensi proses produksi. Misalnya memberikan insentif untuk impor bahan baku obat (atau menghapus bea impor). Bukan "mengkambinghitamkan" dokter duluan!
Reaktif vs Proaktif?
Reaktif adalah upaya panik melempar apa saja (air, pasir, bensin) ke titik api setelah kebakaran terjadi. Proaktif adalah upaya antisipatif mencegah agar kebakaran tidak terjadi. Setidaknya itu penjelasan gampang yang diajarkan Stephen Covey dalam bukunya yang terkenal, the 7 habits of Highly Effective People.
Sederhananya, melibatkan KPK untuk mengusut kasus gratifikasi dokter lebih dulu adalah tindakan reaktif elit kesehatan kita. Sedangkan, upaya-upaya proaktif untuk mencegah gratifikasi dokter tidak dikedepankan.
Saya melihat bahwa para elit (Menkes dan Ketua IDI) masih sebatas melakukan tindakan-tindakan preventif, yang sengaja atau tidak pasti menaikkan popularitas di mata masyarakat awam. Saat Menkes dan IDI berkunjung ke KPK kemarin, ratusan media massa onlie maupun offline memberitakan "peristiwa" bersejarah tersebut. Pembaca awam tepuk tangan, dan sebagian dokter merasa tersudutkan.
Tindakan preventif bukanlah tindakan populer, namun pasti "baik" untuk jangka panjang. Namun, di era popularitas dan elektabilitas semacam ini, susah mengharapkan elit kita melakukan tindakan-tindakan tidak populer secara konsisten.
3 Upaya Peventif Gratifikasi Obat?
Saya mencoba mengadaptasi gagasan Augusto Lopez-Claros, salah satu direktur World Bank, dalam artikel yang ditulisnya. Apa saja langkah-langkah preventif mencegah gratifikasi obat?
- Sejahterakan Dokter, itu adalah langkah pertama yang diusulkan untuk mencegah gratifikasi obat. Gratifikasi lahir karena adanya gap antara harapan dan kenyataan. IDI pernah menghitung bahwa seorang dokter umum seharusnya memiliki kelayakan gaji sekitar 20 juta/bulan. Tentu dokter spesialis lebih dari itu, mengingat kompetensi dan lama belajar yang ditempuh. Jadi, seharusnya sudah tidak ada lagi dokter yang digaji 1,2 juta/bulan!
- Transparansi, adalah kunci utama dalam mencegah gratifikasi obat. Sebaiknya Rumah Sakit (setidaknya Rumah Sakit Pemerintah) memiliki laporan keuangan yang transparan dan dapat diakses masyarakat dengan mudah. Laporan keuangan yang serinci mungkin untuk menggambarkan berapa proporsi biaya obat terhadap biaya pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Transparansi jelas jurus ampuh untuk mencegah gratifikasi.
- Smart Technology, adalah tantangan besar dalam ekosistem kesehatan kita. jangankan mempunyai teknologi pintar, memiliki Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIM-RS) yang terintegrasi saja banyak RS yang tidak mampu. Jika pemerintah serius ingin mencegah gratifikasi obat, lengkapi RS Pemerintah dengan SIM-RS yang terintegrasi dan layak. Sejauh ini rumah sakit kita mayoritas masih menggunakan SIM-RS hanya sebatas keperluan billing. Padahal dengan SIM-RS yang baik saja (tidak perlu pintar) akan sangat mudah dan murah melakukan kontrol dan terhadap praktek peresepan obat oleh dokter, tidak perlu KPK!
Apapun yang kalian lakukan, I still LOVE BEING A DOCTOR.
Pesan Kaos Dokter???
SMS/WA 081234008737
(Diskon 50% karena Dokter Post masih Marah ke Tempo)