Injeksi Vitamin K untuk Hematemesis Melena: Kapan Wajib, Kapan Sunah? Panduan Praktis Berbasis Bukti PubMed untuk Diagnosis dan Terapi Hematemesis Melena

31 May 2025 • Interna

Deskripsi

Injeksi Vitamin K untuk Hematemesis Melena: Kapan Wajib, Kapan Sunah? Panduan Praktis Berbasis Bukti PubMed untuk Diagnosis dan Terapi Hematemesis Melena

Pendahuluan

Hematemesis (muntah darah) dan melena (buang air besar berwarna hitam pekat seperti ter) merupakan manifestasi klinis dari perdarahan saluran cerna bagian atas (PSBA) akut, sebuah kondisi kegawatdaruratan medis yang memerlukan penanganan segera. 

Manajemen awal pada pasien dengan kondisi ini berfokus pada stabilisasi hemodinamik melalui resusitasi cairan dan/atau transfusi darah, serta identifikasi cepat sumber perdarahan, yang seringkali membutuhkan tindakan endoskopi.

Tidak jarang, pasien yang datang dengan hematemesis melena juga memiliki gangguan pembekuan darah (koagulopati), terutama pada mereka dengan riwayat penyakit hati kronis seperti sirosis, atau pasien yang mengonsumsi obat antikoagulan seperti warfarin (antagonis vitamin K/VKA). 

Kehadiran koagulopati ini menambah kompleksitas penanganan dan menimbulkan pertanyaan klinis penting: perlukah injeksi Vitamin K diberikan secara rutin pada semua pasien hematemesis melena? Apakah tindakan ini bersifat 'wajib', didukung oleh bukti ilmiah yang kuat, ataukah 'sunah', bersifat opsional atau hanya direkomendasikan pada kondisi tertentu?

Artikel ini bertujuan untuk mengupas tuntas peran Vitamin K dalam konteks Diagnosis dan Terapi Hematemesis Melena, dengan berpegang teguh pada bukti ilmiah terkini yang terindeks di PubMed. 

Pembahasan ini ditujukan secara khusus bagi rekan-rekan Dokter Umum, sebagai panduan praktis dalam menghadapi dilema klinis ini di lapangan. Perlu digarisbawahi bahwa praktik klinis terkadang dapat berbeda dengan rekomendasi berbasis bukti terkuat, terutama dalam situasi gawat darurat. Oleh karena itu, pemahaman mendalam mengenai dasar ilmiah di balik penggunaan Vitamin K menjadi krusial. 

Artikel ini juga akan menyoroti perbedaan mendasar peran Vitamin K pada dua penyebab utama koagulopati yang relevan: penyakit hati dan penggunaan warfarin.

Memahami Hematemesis Melena dan Gangguan Koagulasi Penyerta

Secara definisi, hematemesis adalah muntah darah, yang bisa berwarna merah segar jika perdarahan masif dan cepat, atau berwarna kecoklatan seperti bubuk kopi jika darah telah terpapar asam lambung. 

Melena adalah keluarnya feses berwarna hitam, lengket, dan berbau khas seperti ter, yang terjadi akibat degradasi hemoglobin oleh enzim pencernaan dan bakteri usus. Kedua tanda ini umumnya mengindikasikan sumber perdarahan di saluran cerna bagian atas, yaitu proksimal dari Ligamentum Treitz. 

Penyebab tersering PSBA meliputi ulkus peptikum (lambung atau duodenum), gastritis erosif, dan pecahnya varises esofagus, terutama pada pasien dengan sirosis hati dan hipertensi portal.

Gangguan koagulasi sering menyertai PSBA, memperburuk perdarahan dan mempersulit penanganan. Dua skenario utama yang perlu dipahami adalah koagulopati pada penyakit hati kronis/sirosis dan koagulopati akibat penggunaan warfarin.

  • Koagulopati pada Penyakit Hati Kronis/Sirosis: Hati memainkan peran sentral dalam hemostasis. Pada sirosis hati lanjut, terjadi penurunan sintesis berbagai protein yang terlibat dalam pembekuan darah, termasuk faktor-faktor koagulasi yang dependen Vitamin K (Faktor II, VII, IX, X) serta protein antikoagulan alami (Protein C, Protein S). Selain itu, trombositopenia (jumlah trombosit rendah) akibat sekuestrasi di limpa yang membesar (hipersplenisme) dan penurunan produksi trombopoietin oleh hati, serta gangguan fungsi trombosit, turut berkontribusi terhadap risiko perdarahan.
    Menariknya, meskipun tes koagulasi standar seperti Prothrombin Time (PT) atau International Normalized Ratio (INR) seringkali memanjang pada pasien sirosis, kondisi hemostasis mereka dalam keadaan stabil sering digambarkan sebagai "rebalanced hemostasis" atau hemostasis yang seimbang kembali. Keseimbangan ini terjadi karena penurunan faktor prokoagulan diimbangi oleh penurunan faktor antikoagulan. Namun, keseimbangan ini sangat rapuh dan mudah terganggu oleh kondisi akut seperti infeksi atau gagal ginjal. Konsekuensi penting dari konsep ini adalah bahwa nilai INR yang tinggi pada pasien sirosis tidak secara langsung mencerminkan risiko perdarahan yang sebenarnya, karena INR hanya mengukur faktor prokoagulan (terutama Faktor VII) dan tidak memperhitungkan penurunan faktor antikoagulan. Oleh karena itu, banyak panduan klinis terkini tidak lagi merekomendasikan koreksi INR secara rutin pada pasien sirosis hanya berdasarkan nilai laboratorium tanpa adanya perdarahan aktif atau prosedur berisiko tinggi.

Gambar 1. Gambar (a) dan (b), konsep “rebalanced” hemostasis pada pasien dengan dan tanpa penyakit hati

  • Koagulopati Akibat Warfarin (Antagonis Vitamin K/VKA): Warfarin bekerja dengan cara menghambat enzim Vitamin K epoxide reductase (VKOR) di hati. Enzim ini krusial untuk mendaur ulang Vitamin K ke bentuk aktifnya, yang diperlukan untuk proses karboksilasi faktor koagulasi II, VII, IX, dan X. Hambatan pada VKOR menyebabkan produksi faktor-faktor koagulasi tersebut dalam bentuk yang tidak fungsional (under-carboxylated), sehingga mengganggu kaskade pembekuan darah dan menimbulkan efek antikoagulan. Penggunaan VKA diketahui secara signifikan meningkatkan risiko perdarahan gastrointestinal (GIB). Faktor risiko tambahan untuk GIB pada pengguna warfarin meliputi usia di atas 65 tahun, riwayat GIB sebelumnya, nilai INR rata-rata di atas 2.1, dan adanya sirosis hati.

Pemahaman mendalam mengenai perbedaan mekanisme koagulopati antara penyakit hati (gangguan sintesis) dan penggunaan warfarin (inhibisi daur ulang Vitamin K) menjadi landasan fundamental dalam menentukan strategi Diagnosis dan Terapi Hematemesis Melena yang tepat, khususnya terkait peran dan efektivitas pemberian Vitamin K.

Peran Fisiologis Vitamin K dalam Hemostasis

Vitamin K merupakan kelompok vitamin larut lemak yang esensial bagi tubuh. Terdapat dua bentuk utama: Vitamin K1 (phylloquinone) yang banyak ditemukan pada sayuran hijau, dan Vitamin K2 (menaquinone) yang dapat disintesis oleh bakteri normal di usus serta hasil konversi dari Vitamin K1 di jaringan tubuh.

Fungsi utama dan paling dikenal dari Vitamin K adalah perannya sebagai kofaktor esensial untuk enzim hepatik γ-glutamyl carboxylase (GGCX). Enzim GGCX ini mengkatalisis reaksi biokimia penting, yaitu penambahan gugus karboksil kedua pada residu asam glutamat (Glu) spesifik pada protein-protein prekursor tertentu, mengubahnya menjadi residu γ-carboxyglutamate (Gla).

Pembentukan residu Gla ini sangat krusial. Adanya dua gugus karboksil bermuatan negatif pada residu Gla memungkinkan protein tersebut untuk mengikat ion Kalsium (Ca2+). Kemampuan mengikat Kalsium inilah yang menjadi kunci aktivasi dan fungsi dari protein-protein dependen Vitamin K, termasuk faktor-faktor koagulasi (Faktor II/Prothrombin, VII, IX, X) dan protein antikoagulan alami (Protein C, Protein S) dalam menjalankan perannya di kaskade pembekuan darah. Tanpa karboksilasi yang dimediasi Vitamin K, protein-protein ini tidak dapat berfungsi optimal.

Tubuh memiliki mekanisme efisien untuk mendaur ulang Vitamin K melalui Siklus Vitamin K. Setelah digunakan dalam reaksi karboksilasi, Vitamin K teroksidasi menjadi Vitamin K epoksida. Enzim Vitamin K epoxide reductase (VKORC1) kemudian mereduksi kembali Vitamin K epoksida menjadi bentuk aktif (Vitamin K hydroquinone), sehingga dapat digunakan kembali. Efisiensi daur ulang inilah yang menyebabkan defisiensi Vitamin K jarang terjadi pada orang dewasa sehat dengan diet normal. Namun, warfarin secara spesifik menghambat kerja VKORC1, memutus siklus daur ulang ini.

Defisiensi Vitamin K, baik karena asupan yang tidak adekuat, gangguan penyerapan (malabsorpsi) lemak seperti pada penyakit bilier kolestatik atau penyakit usus tertentu, penggunaan antibiotik spektrum luas jangka panjang yang mengganggu flora usus penghasil Vitamin K2, atau akibat inhibisi oleh VKA, akan mengakibatkan terganggunya proses karboksilasi. Akibatnya, hati akan melepaskan faktor-faktor koagulasi dalam bentuk yang tidak terkarboksilasi atau kurang terkarboksilasi, yang dikenal sebagai PIVKA (Proteins Induced by Vitamin K Absence or Antagonism). PIVKA ini tidak fungsional dalam proses pembekuan darah, sehingga terjadi gangguan hemostasis dan peningkatan risiko perdarahan.

Secara laboratoris, defisiensi Vitamin K klasik akan menyebabkan pemanjangan PT/INR, karena Faktor VII memiliki waktu paruh paling pendek di antara faktor koagulasi dependen Vitamin K lainnya, sehingga levelnya turun paling cepat. Pada defisiensi yang lebih berat atau berlangsung lama, Activated Partial Thromboplastin Time (aPTT) juga dapat memanjang karena dipengaruhi oleh Faktor II, IX, dan X. 

Penting untuk dicatat bahwa Vitamin K berperan dalam sintesis baik faktor prokoagulan maupun antikoagulan. Hal ini memperkuat pemahaman mengapa intervensi yang hanya bertujuan memperbaiki INR pada kondisi kompleks seperti sirosis (dimana sintesis semua protein ini terganggu) mungkin tidak mengembalikan keseimbangan hemostasis yang sesungguhnya.

Tinjauan Bukti Ilmiah: Vitamin K pada Hematemesis Melena

Evaluasi kritis terhadap bukti ilmiah dari PubMed mengenai penggunaan Vitamin K pada pasien hematemesis melena menunjukkan gambaran yang sangat bergantung pada konteks klinis, terutama penyebab koagulopati yang mendasari.

  • Status Rekomendasi Panduan Klinis:

  • Koagulopati pada Sirosis: Panduan klinis dari organisasi besar seperti American Gastroenterological Association (AGA), American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD), dan European Association for the Study of the Liver (EASL) umumnya tidak merekomendasikan koreksi rutin koagulopati (berdasarkan INR memanjang atau trombositopenia ringan-sedang) sebelum prosedur berisiko rendah (seperti parasentesis, torakosentesis, atau endoskopi diagnostik/ligasi varises) pada pasien sirosis. Panduan AGA 2019 secara eksplisit menyatakan keterbatasan penggunaan Fresh Frozen Plasma (FFP) untuk mencapai target INR arbitrer pada sirosis karena volume besar yang dibutuhkan, efek minimal pada generasi trombin, dan potensi efek samping seperti peningkatan tekanan portal. Panduan-panduan ini umumnya kurang memberikan penekanan atau rekomendasi spesifik mengenai penggunaan Vitamin K untuk perdarahan aktif pada sirosis, kecuali jika ada kecurigaan kuat defisiensi. Beberapa sumber menyarankan pemberian percobaan Vitamin K (misalnya, 10 mg injeksi IM/SC/IV lambat selama 3 hari) pada sirosis dekompensata jika dicurigai ada komponen defisiensi akibat malabsorpsi (misalnya karena kolestasis berkepanjangan) atau malnutrisi berat, terutama sebelum tindakan elektif. Namun, ditekankan berulang kali bahwa Vitamin K tidak akan efektif memperbaiki INR jika penyebab utamanya adalah gangguan fungsi sintesis hepatosit yang berat.

  • Perdarahan Terkait Warfarin: Untuk perdarahan mayor atau INR sangat tinggi pada pasien yang menggunakan warfarin, panduan umumnya merekomendasikan penghentian warfarin dan pemberian agen reversal. Prothrombin Complex Concentrate (PCC) seringkali lebih diutamakan daripada FFP karena volume lebih kecil, koreksi lebih cepat, dan risiko overload cairan lebih rendah. Pemberian Vitamin K, biasanya secara intravena (IV) dengan dosis 5-10 mg diberikan perlahan, seringkali direkomendasikan sebagai terapi tambahan bersama PCC untuk memastikan reversal efek warfarin yang lebih bertahan lama, karena PCC memiliki waktu paruh yang lebih pendek dibandingkan efek inhibisi warfarin.

  • Temuan Studi Klinis (Fokus Non-Warfarin/Sirosis):

  • Kesenjangan Bukti Signifikan: Titik paling krusial dari tinjauan literatur adalah kesimpulan konsisten dari Cochrane Systematic Reviews (termasuk update tahun 2015 dan 2020) yang menyatakan bahwa hingga saat ini, tidak ditemukan adanya Randomized Controlled Trials (RCTs) yang secara spesifik mengevaluasi efikasi dan keamanan pemberian Vitamin K pada pasien dengan perdarahan saluran cerna atas (termasuk hematemesis melena) yang disebabkan oleh penyakit hati akut atau kronis.

  • Implikasi Kesenjangan Bukti: Ketiadaan bukti dari RCT, yang merupakan standar emas penelitian klinis, berarti bahwa rekomendasi kuat untuk mendukung maupun menolak penggunaan Vitamin K pada setting klinis ini tidak dapat dibuat. Penggunaannya dalam konteks ini dianggap sebagai intervensi suplementer yang manfaat dan risikonya belum teruji secara definitif. Ketiadaan RCT ini mungkin disebabkan oleh asumsi historis mengenai manfaatnya yang kini dipertanyakan, kesulitan metodologis dalam melakukan studi semacam itu, atau rendahnya kemungkinan efikasi yang dirasakan peneliti berdasarkan pemahaman patofisiologi (ketidakefektifan pada gagal sintesis hati).

  • Studi Lain (Observasional/Non-RCT): Bukti dari studi non-RCT cenderung terbatas dan hasilnya beragam. Sebuah studi retrospektif dari Tiongkok menyarankan adanya potensi penurunan mortalitas dengan pemberian Vitamin K1 pada pasien gagal hati kronis, namun studi ini memiliki keterbatasan desain dan memerlukan validasi lebih lanjut melalui studi prospektif. Sumber lain juga mengutip potensi perbaikan survival. Sebaliknya, studi lain yang mengevaluasi penggunaan obat hemostatik secara umum (tidak spesifik Vitamin K) pada pasien sirosis dengan PSBA justru menemukan bahwa penggunaannya tidak memperbaiki luaran klinis dan bahkan mungkin berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan ulang. Beberapa laporan juga mengkonfirmasi bahwa Vitamin K seringkali gagal menormalkan INR secara signifikan pada pasien sirosis dengan gangguan sintesis berat. Temuan bahwa beberapa obat hemostatik mungkin justru meningkatkan risiko perdarahan ulang pada sirosis menjadi peringatan penting terhadap penggunaan empiris agen koagulasi tanpa indikasi jelas, mengingat kondisi "rebalanced hemostasis" yang kompleks pada pasien ini.

Analisis Wajib vs Opsional: Kapan Vitamin K Diberikan?

Berdasarkan sintesis bukti dari PubMed, keputusan untuk memberikan Vitamin K pada pasien dengan hematemesis melena harus didasarkan pada penyebab koagulopati yang mendasarinya. Berikut adalah analisis status rekomendasi Vitamin K dalam kerangka 'wajib' (indikasi kuat) versus 'sunah' (opsional/kondisional):

  • Kategori "Wajib" (Mandatory): Pemberian Vitamin K dianggap wajib atau memiliki indikasi yang jelas pada kondisi berikut:

  • Reversal Antikoagulan VKA (Warfarin): Pada pasien hematemesis melena yang sedang menggunakan warfarin dan mengalami perdarahan mayor atau memiliki INR yang sangat tinggi (supraterapeutik), pemberian Vitamin K (umumnya 5-10 mg IV diberikan perlahan) merupakan bagian penting dari manajemen reversal, biasanya diberikan bersama dengan agen reversal kerja cepat seperti PCC. Tujuannya adalah untuk mengembalikan sintesis faktor koagulasi fungsional secara berkelanjutan setelah efek PCC menghilang. Mekanisme kerja warfarin yang secara langsung menghambat daur ulang Vitamin K membuat suplementasi Vitamin K menjadi intervensi yang logis dan perlu.

  • Defisiensi Vitamin K yang Terbukti: Jika terdapat bukti klinis atau laboratorium yang kuat menunjukkan adanya defisiensi Vitamin K sebagai penyebab koagulopati (misalnya, riwayat malabsorpsi lemak kronis seperti pada kolestasis berat atau penyakit Crohn, riwayat penggunaan antibiotik spektrum luas jangka panjang, malnutrisi berat, dan disertai pemanjangan PT/INR yang terbukti membaik setelah pemberian Vitamin K), maka suplementasi Vitamin K menjadi terapi kausatif yang wajib diberikan.

  • Kategori "Sunah" (Optional/Recommended Conditionally): Pemberian Vitamin K bersifat opsional, kondisional, atau tidak direkomendasikan secara rutin pada kondisi berikut:

  • Koagulopati pada Penyakit Hati Kronis/Sirosis (tanpa penggunaan VKA atau bukti defisiensi): Ini adalah area di mana bukti paling lemah dan kontroversi paling besar.

  • Pemberian Vitamin K secara rutin hanya karena nilai INR memanjang pada pasien sirosis dengan hematemesis melena tidak didukung oleh bukti RCT berkualitas.

  • Panduan klinis utama tidak merekomendasikan koreksi INR rutin pada sirosis stabil atau sebelum prosedur risiko rendah.

  • Pemberian Vitamin K dapat dipertimbangkan (opsional/kondisional) hanya jika ada kecurigaan klinis yang kuat akan adanya defisiensi Vitamin K sekunder (misalnya, pasien dengan ikterus kolestatik yang jelas, diare kronis berlemak, atau malnutrisi sangat berat). Namun, perlu diingat bahwa efektivitasnya sangat diragukan jika fungsi sintesis hati sudah sangat terganggu, karena hati tidak mampu menggunakan Vitamin K yang diberikan untuk memproduksi faktor koagulasi. Manfaat klinisnya pada populasi ini belum terbukti secara definitif.

  • Fokus utama penanganan PSBA pada sirosis tetap pada resusitasi hemodinamik, pemberian obat vasoaktif (jika dicurigai perdarahan varises), antibiotik profilaksis, dan intervensi endoskopi sesegera mungkin untuk mengidentifikasi dan menghentikan sumber perdarahan.

Keputusan akhir pemberian Vitamin K harus selalu bersifat individual, dengan mempertimbangkan secara cermat etiologi perdarahan, penyebab pasti koagulopati (gangguan sintesis vs. inhibisi VKA vs. defisiensi), dan bukti klinis spesifik yang mendukung adanya defisiensi Vitamin K pada pasien tersebut. 

Kategori 'sunah' dalam konteks sirosis harus diinterpretasikan dengan sangat hati-hati, bukan sebagai anjuran umum, melainkan sebagai opsi yang dipertimbangkan hanya pada kasus yang sangat terseleksi dengan kecurigaan defisiensi, dan dengan pemahaman bahwa manfaatnya belum terbukti kuat.

Berikut adalah tabel ringkasan untuk mempermudah pemahaman:

Tabel 1: Ringkasan Rekomendasi Vitamin K pada Hematemesis Melena (Wajib vs Sunah)


Skenario Klinis

Status Rekomendasi

Dasar Bukti (PubMed)

Catatan Penting

Reversal Warfarin (Perdarahan Mayor / INR Sangat Tinggi)

Wajib

Mekanisme aksi warfarin & Vit K , Panduan reversal (implied by )

Biasanya diberikan bersama agen reversal cepat (PCC). Dosis Vit K bervariasi (misal 5-10 mg IV lambat).

Defisiensi Vitamin K Terkonfirmasi (misal, Malabsorpsi Berat, Kolestasis Kronis)

Wajib

Fisiologi Vit K , Laporan kasus/studi observasional (implied by )

Diagnosis defisiensi harus didasarkan pada klinis/laboratorium yang kuat. Responsif terhadap suplementasi Vit K.

Koagulopati Sirosis (INR memanjang, tanpa VKA / bukti defisiensi jelas)

Sunah

Ketiadaan RCT , Panduan tidak merekomendasikan koreksi INR rutin , Efektivitas diragukan pada gagal sintesis , Manfaat tidak terbukti definitif , Risiko perdarahan ulang dgn hemostatik?

Tidak untuk penggunaan rutin. Pertimbangkan hanya jika ada kecurigaan kuat defisiensi sekunder (kolestasis, malnutrisi). Jika diberikan, evaluasi respons INR. Fokus utama pada terapi lain (resusitasi, endoskopi, dll).

Rekomendasi Praktis: Dosis Obat Hematemesis Melena (Vitamin K) dan Cara Pemberian

Penting untuk ditekankan kembali bahwa rekomendasi dosis dan cara pemberian Vitamin K berikut ini hanya relevan jika indikasi pemberiannya (baik 'wajib' maupun 'sunah' yang dipertimbangkan dengan sangat hati-hati) telah terpenuhi berdasarkan analisis bukti ilmiah yang dipaparkan sebelumnya. Pemberian Vitamin K tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan.

  • Untuk Reversal Warfarin:

  • Dosis Vitamin K (Phytomenadione/Vitamin K1) untuk reversal warfarin pada kondisi perdarahan aktif atau INR sangat tinggi bervariasi tergantung pada nilai INR awal, tingkat urgensi, dan protokol institusi setempat.

  • Secara umum, dosis 5 hingga 10 mg Vitamin K1 diberikan secara intravena (IV) perlahan (misalnya, diinfuskan selama minimal 30 menit) sering direkomendasikan. Pemberian IV dipilih untuk onset aksi yang lebih cepat dalam situasi emergensi. Perlu diingat, pemberian IV Vitamin K, meskipun jarang, memiliki risiko reaksi anafilaktoid, sehingga administrasi harus dilakukan secara perlahan dan dengan pemantauan.

  • Vitamin K biasanya diberikan bersamaan dengan Prothrombin Complex Concentrate (PCC) untuk mencapai hemostasis segera, karena efek Vitamin K membutuhkan waktu beberapa jam untuk sintesis faktor koagulasi baru.

  • Rute pemberian lain seperti subkutan (SC), intramuskular (IM), atau oral memiliki onset yang lebih lambat dan absorpsi yang mungkin tidak dapat diprediksi pada pasien kritis atau dengan gangguan gastrointestinal, sehingga kurang ideal untuk perdarahan akut.

  • Untuk Dugaan Defisiensi Vitamin K (Non-Warfarin, termasuk pada Sirosis dengan Kolestasis/Malabsorpsi):

  • Jika terdapat kecurigaan klinis yang kuat akan adanya defisiensi Vitamin K sebagai kontributor koagulopati pada pasien (misalnya, pasien sirosis dengan kolestasis berat, riwayat reseksi usus luas, atau malnutrisi parah), pemberian percobaan Vitamin K1 dapat dipertimbangkan.

  • Dosis yang sering disarankan dalam beberapa literatur (meskipun bukan dari panduan internasional utama) adalah 10 mg Vitamin K1 injeksi (dapat diberikan IM, SC, atau IV perlahan) sekali sehari selama 3 hari. Penting untuk memantau respons INR setelah pemberian.

  • Jika tidak ada perbaikan signifikan pada nilai INR setelah 3 hari pemberian pada pasien sirosis, kemungkinan besar koagulopati disebabkan oleh gangguan sintesis hepatosit yang berat, dan melanjutkan pemberian Vitamin K lebih lanjut dianggap tidak akan memberikan manfaat.

  • Cara Pemberian:

  • Intravena (IV): Rute pilihan untuk kondisi akut dan emergensi karena onset tercepat. Harus diberikan secara perlahan (infus selama minimal 30 menit) untuk meminimalkan risiko reaksi anafilaktoid.

  • Intramuskular (IM) / Subkutan (SC): Alternatif jika akses IV sulit atau kondisi kurang mendesak. Absorpsi bisa bervariasi.

  • Oral: Kurang cocok untuk perdarahan akut karena onset lambat dan absorpsi yang tidak pasti, terutama jika pasien muntah atau memiliki gangguan penyerapan.

Bagian ini secara spesifik membahas Dosis Obat Hematemesis Melena untuk Vitamin K, namun selalu dalam konteks indikasi yang tepat berdasarkan analisis bukti sebelumnya.

Kesimpulan

Hematemesis melena merupakan manifestasi PSBA akut yang memerlukan pendekatan Diagnosis dan Terapi Hematemesis Melena yang sistematis dan cepat. Koagulopati seringkali menyertai kondisi ini, terutama pada pasien sirosis hati atau pengguna warfarin.

Peran injeksi Vitamin K dalam tatalaksana hematemesis melena bersifat kondisional dan sangat bergantung pada etiologi koagulopati yang mendasarinya; penggunaannya tidak diindikasikan secara rutin untuk semua kasus.

  • Berdasarkan bukti ilmiah yang terindeks di PubMed, pemberian Vitamin K dapat dikategorikan 'wajib' pada dua skenario utama: (1) sebagai bagian dari strategi reversal antikoagulan warfarin pada pasien dengan perdarahan mayor atau INR sangat tinggi, biasanya dikombinasikan dengan PCC; dan (2) untuk mengoreksi koagulopati yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin K yang terbukti secara klinis atau laboratoris.

  • Sebaliknya, pada pasien sirosis hati dengan koagulopati (INR memanjang) tanpa riwayat penggunaan warfarin atau bukti kuat defisiensi Vitamin K, pemberian Vitamin K secara rutin tidak didukung oleh bukti ilmiah berkualitas tinggi (RCT) dan efektivitasnya diragukan, terutama jika terdapat gangguan sintesis hati yang berat. Dalam konteks ini, penggunaannya bersifat 'sunah' (opsional/sangat kondisional) dan hanya dapat dipertimbangkan jika ada kecurigaan kuat defisiensi sekunder (misalnya akibat kolestasis atau malnutrisi berat), dengan pemahaman bahwa manfaatnya belum terbukti. Panduan klinis utama umumnya tidak merekomendasikan koreksi INR rutin pada pasien sirosis hanya berdasarkan nilai laboratorium.

  • Fokus utama penanganan hematemesis melena pada pasien sirosis tetap pada stabilisasi hemodinamik, identifikasi dan terapi sumber perdarahan melalui endoskopi (misalnya ligasi varises, kliping ulkus), pemberian obat vasoaktif jika perlu, dan antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi.

Keputusan klinis untuk menggunakan Vitamin K harus selalu didasarkan pada evaluasi individual yang cermat terhadap kondisi pasien, penyebab koagulopati, dan interpretasi kritis terhadap bukti ilmiah terbaik yang tersedia, seperti yang dapat diakses melalui database PubMed. 

Pendekatan berbasis bukti ini akan membantu memastikan bahwa intervensi yang diberikan memberikan manfaat nyata dan menghindari penggunaan terapi yang tidak perlu atau potensial tidak efektif, sekaligus menantang praktik rutin yang mungkin tidak lagi didukung oleh data ilmiah terkini.

Referensi :

  1. Hematemesis, Melena, and Hematochezia - Clinical Methods - NCBI Bookshelf, diakses April 16, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK411/

  2. Clinical outcomes of acute upper gastrointestinal bleeding according to the risk indicated by Glasgow-Blatchford risk score-computed tomography score in the emergency room - PMC, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9666247/

  3. Management of upper gastrointestinal bleeding in emergency departments, from bleeding symptoms to diagnosis: a prospective, multicenter, observational study, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5557479/

  4. Clinical approach to the patient with acute gastrointestinal bleeding ..., diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6502216/

  5. Management of Coagulopathy during Bleeding and Invasive ..., diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6189540/

  6. Gastrointestinal Hemorrhage in Warfarin Anticoagulated Patients: Incidence, Risk Factor, Management, and Outcome - PMC, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4058852/

  7. Step by Step: Managing the Complications of Cirrhosis - PMC - PubMed Central, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8164676/

  8. Clinical Presentations and Risk Factors of Gastrointestinal Bleeding in the Emergency Department: A Multicenter Retrospective Study - PMC, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11078533/

  9. Interventional Algorithm in Gastrointestinal Bleeding—An Expert Consensus Multimodal Approach Based on a Multidisciplinary Team, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7427045/

  10. No Benefit of Hemostatic Drugs on Acute Upper Gastrointestinal Bleeding in Cirrhosis - PMC, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7336197/

  11. Physiology, Coagulation Pathways - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 16, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482253/

  12. Vitamin K Deficiency - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 16, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536983/

  13. Vitamin K - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 16, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551578/

  14. Vitamin K-Dependent Coagulation Factors That May be Responsible for Both Bleeding and Thrombosis (FII, FVII, and FIX), diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6714837/

  15. Neglected vitamin K deficiency causing coagulation dysfunction in an older patient with pneumonia: a case report - PubMed Central, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9338575/

  16. Biochemistry, Clotting Factors - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 16, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507850/

  17. Approach to thromboelastography-based transfusion in cirrhosis: An alternative perspective on coagulation disorders - Baishideng Publishing Group, diakses April 16, 2025, https://www.wjgnet.com/1007-9327/full/v29/i9/1460.htm

  18. Hematological abnormalities in liver cirrhosis - PMC - PubMed Central, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11438588/

  19. Transfusion strategies in patients with cirrhosis - PMC - PubMed Central, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7023893/

  20. AGA Clinical Practice Guideline on the Management of Coagulation Disorders in Patients With Cirrhosis - Steinberg board review in gastroenterology, diakses April 16, 2025, https://www.giboardreview.com/wp-content/uploads/2021/10/AGA-guidelines-on-coag-disorders-in-cirrhosis-sept-2021.pdf

  21. Characteristics, Location, and Clinical Outcomes of Gastrointestinal Bleeding in Patients Taking New Oral Anticoagulants Compared to Vitamin K Antagonists - PMC, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8234640/

  22. Association of Antisecretory Drugs with Upper Gastrointestinal Bleeding in Patients Using Oral Anticoagulants: A Systematic Review and Meta-Analysis, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10031639/

  23. Dalteparin versus vitamin K antagonists for the prevention of recurrent venous thromboembolism in patients with cancer and renal impairment: a Canadian pharmacoeconomic analysis - PubMed Central, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5237592/

  24. Vitamin-K Antagonists vs. Direct Oral Anticoagulants on Severity of Upper Gastrointestinal Bleeding: A Retrospective Analysis of Italian and UK Data, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9656833/

  25. Management of Gastrointestinal Bleeding and Resumption of Oral Anticoagulant Therapy in Patients with Atrial Fibrillation: A Multidisciplinary Discussion - PMC, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10329066/

  26. Anticoagulant Reversal in Gastrointestinal Bleeding: Review of Treatment Guidelines - PMC, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9245141/

  27. Direct-acting oral anticoagulants versus warfarin in relation to risk of gastrointestinal bleeding: a systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8375644/

  28. Warfarin compared with non-vitamin K antagonist oral anticoagulants in subjects with liver disease and atrial fibrillation: A meta-analysis - PubMed, diakses April 16, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34192400/

  29. Efficacy and Safety of the Non-Vitamin K Antagonist Oral Anticoagulant Among patients with nonvalvular atrial fibrillation and Cancer: A Systematic Review and Network Meta-analysis - PubMed, diakses April 16, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/35932849/

  30. Comparison of the Efficacy and Safety of Non-vitamin K Antagonist Oral Anticoagulants with Warfarin in Atrial Fibrillation Patients with a History of Bleeding: A Systematic Review and Meta-Analysis - PubMed, diakses April 16, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/35292921/

  31. Real-world comparisons of reduced-dose non-vitamin K antagonist oral anticoagulants versus warfarin in atrial fibrillation: a systematic review and meta-analysis - PubMed, diakses April 16, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31713086/

  32. Comparison between non-vitamin K oral antagonist versus warfarin in atrial fibrillation with and without valvular heart disease: a systematic review and meta-analysis - PubMed, diakses April 16, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39120758/

  33. Comparison between non-vitamin K oral antagonist versus warfarin in atrial fibrillation with and without valvular heart disease: a systematic review and meta-analysis - PMC, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11315858/

  34. Safety and efficacy of apixaban versus vitamin K antagonists in patients undergoing dialysis: a systematic review and meta-analysis - PubMed, diakses April 16, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38770962/

  35. Beyond the Coagulation Cascade: Vitamin K and Its Multifaceted Impact on Human and Domesticated Animal Health - MDPI, diakses April 16, 2025, https://www.mdpi.com/1467-3045/46/7/418

  36. Vitamin K – sources, physiological role, kinetics, deficiency, detection, therapeutic use, and toxicity, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8907489/

  37. bsdwebstorage.blob.core.windows.net, diakses April 16, 2025, https://bsdwebstorage.blob.core.windows.net/ejournals-1007-9327/WJGv13i30.pdf

  38. British Society of Gastroenterology Best Practice Guidance: outpatient management of cirrhosis – part 3: special circumstances, diakses April 16, 2025, https://fg.bmj.com/content/14/6/474

  39. echo.ilbs.in, diakses April 16, 2025, https://echo.ilbs.in/images/upload/pdfs/202105271104480862717001622093688_Nursing%20Module%20(ILBS-ECHO).pdf

  40. Vitamin K for upper gastrointestinal bleeding in people with acute or chronic liver diseases | Request PDF - ResearchGate, diakses April 16, 2025, https://www.researchgate.net/publication/278045276_Vitamin_K_for_upper_gastrointestinal_bleeding_in_people_with_acute_or_chronic_liver_diseases

  41. Vitamin K for upper gastrointestinal bleeding in people with acute or chronic liver diseases - PubMed Central, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7387129/

  42. Vitamin K for upper gastrointestinal bleeding in patients with liver diseases - PubMed, diakses April 16, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18677778/

  43. Vitamin K for upper gastrointestinal bleeding in patients with liver diseases - ResearchGate, diakses April 16, 2025, https://www.researchgate.net/publication/23147056_Vitamin_K_for_upper_gastrointestinal_bleeding_in_patients_with_liver_diseases

  44. Effect of vitamin K1 on survival of patients with chronic liver failure: A retrospective cohort study - PMC, diakses April 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7220212/