1 Apr 2017 • Internal Medicine
Puskesmas dan klinik pratama adalah "pintu gerbang" pasien di era BPJS. Saat ini, pasien peserta BPJS tidak bisa langsung datang di rumah sakit untuk medapatkan perawatan kesehatan, kecuali datang dalam kondisi gawat darurat. Agar bisa dirawat di rumah sakit, pasien mendapat surat rujukan terlebih dahulu dari PPK 1 (Puskesmas dan Klinik Pratama).
Dalam sistem rujukan berjenjang seperti itu, puskesmas dan klinik pratama memiliki peran strategis sekaligus "beban berat". Itu artinya dokter di Puskesmas dan klinik pratama tidak lagi hanya akan berhadapan dengan pasien batuk, pilek dan panas saja.
Contohnya kemarin, di Group WA diskusi kasus klinis yang kami kelola, seorang sejawat di Gorontalo melaporkan seorang pasien dengan asites yang datang ke puskesmas tempatnya bertugas. Pasien datang dengan kondisi sesak napas dan bengkak di kedua tungkai.
Permasalahan klasik yang masih banyak ditemui di Puskesmas adalah sarana dan prasarana kesehatan yang terbatas. Misalnya, untuk menyingkirkan diagnosis banding penyebab asites tentu sering kali membutuhkan sarana diagnostik yang cukup lengkap:
Namun pada kenyataannya, di banyak puskesmas terutama di luar jawa hanya tersedia
Tentu saja hal itu sangat tidak memadai untuk sebuah "Gate Keeper" yang sangat strategis di era BPJS ini. Akibatnya akan banyak sekali kasus yang terpaksa dirujuk. Bukan karena tidak mampu merawat, namun untuk menegakkan diagnosis saja harus dirujuk.
Baiklah, kita mencoba berdamai dengan situasi. Jika memang ada dalam kondisi fasilitas kesehatan yang terbatas, "pusaka" yang turun-temurun diajarkan guru kita adalah optimalkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis klinis pasien asites bertujuan untuk memperkirakan kemungkinan etiologi penyebab asites:
Sedangkan tatalaksana umum bertujuan untuk mengatasi kegawatdaruratan dan menstabilkan tanda-tanda vital.
Pendekatan klinis awal pada edema asites yaitu memastikan tidak adanya kelainan organ-organ utama sebagai penyebab. Perlu melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui fungsi hepar, jantung dan ginjal. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarah pada gangguan fungsi hepar (riwayat infeksi sebelumnya, vena kolateral dan spider angioma), fungsi jantung (peningkatan tekanan vena jugular, hepatomegali, dan edema tungkai) dan fungsi ginjal (riwayat hemodialisis, edema anasarka dan anemia) akan sangat membantu proses diagnosis klinis.
Pemeriksaan ekstremitas bawah diawali dengan memeriksa ada atau tidak adanya pitting edema, kemudian membandingkan antara dari satu kaki dengan kaki di sisi lain, dan mencacat setiap asimetri, perubahan epidermal dan dermal, perubahan warna, nyeri tekan, dan penampakan pembuluh darah vena.
Karakteristik dan lokasi setiap ulkus harus dicatat. Ketinggian edema perlu diukur dan dicatat. Data ini dapat memberikan informasi yang lebih efektif dan praktis.
Pemeriksaan Tekanan Vena Jugularis yang meningkat akan sangat penting dalam menegakkan diagnosis klinis gagal jantung kanan. Namun, terkadang pemeriksaan klinis yang kurang tepat akan berakibat pada misdiagnosis. Video dibawah ini dapat menjadi contoh pemeriksaan tekanan vena jugularis yang baik.
Pada Puskesmas dengan sarana dan prasarana yang memadai, tes diagnostik sederhana dapat dilakukan pada evaluasi awal, antara lain: tes fungsi ginjal, tes fungsi hati untuk mendeteksi penyakit hati, pengukuran kadar albumin untuk menilai status gizi. EKG dan rontgen dada mungkin berguna untuk memeriksa kemungkinan gagal jantung.
Secara umum terapi asites adalah diet rendah garma dan diuretik. Dapat menggunakan spironolakton (diuretik hemat kalium). Jika tidak respons dengan spironolakton dapat diberikan furosemid sebagai kombinasi.
Jika masih belum diketahui diagnosis spesifik, pasien asites sebaiknya diminta tirah baring dan diet rendah garam. Konsumsi garam maksimal 5.2 gram/hari.
Diet rendah garam perlu dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Dapat dimulai dengan spironolakton dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons spironolakton bisa dimonitor dengan penurunan berat badan. Diharapkan pemberian spironolakton dapat menurunkan berat badan 0.5 kg/hari, tanpa ada edema kaki atau 1 kg/hari jika didapatkan edema kaki.
Jika tidak respons dengan spironolakton, furosemid dapat diberikan sebagai kombinasi dengan dosis 20-40 mg/hari. Jika masih belum respons, kamu bisa kasih dosis tambahan furosemid sampai maksimal 160 mg/hari.
Pastikan keluhan lain yang berpotensi memperburuk kondisi pasien dalam perjalanan selama rujukan sudah kamu atasi. Jika pasien sudah cukup stabil, kamu bisa rencanakan untuk merujuk pasien ke rumah sakit dengan SpPD.
Semoga Bermanfaat^^
=
Sponsored Content
Pokoknya kalau dapat pasien yang butuh banyak pemeriksaan penunjang, tapi kamu cuma punya tes AU, Kolesterol dan GDS, nggak usah bingung. Buka aja PPK PENATALAKSANAAN, EIMED MERAH dan EIMED BIRU (PAKET PAPDI). Insya Allah semuanya ada disana.
Kalau kamu belum punya PAKET PAPDI, kamu bisa pesan lewat link ini https://goo.gl/YfJhdx
Perubahan Diagnosis Dengue ICD 11
9 May 2020
Rangkuman Webinar PAPDI 30 April 2020
2 May 2020
Bergabung dengan Dokter Post Untuk Karier Anda 🌟