Seminggu kemarin media Indonesia dibanjiri berita-berita tentang hadiah nobel. Berbagai pemenang nobel mulai dari kimia, fisika hingga perdamaian diumumkan oleh The Royal Swedish Academy of Science. Tentu yang paling menarik perhatian saya, tentu juga sejawat dokter yang lain, adalah pengumuman pemenang Nobel Fisiologi atau Kedokteran.
Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran tahun ini jatuh pada tiga ilmuan yang berkutat dalam penemuan obat penyakit parasit: William C. Campbell, Satoshi Omura dan Youyou Tu. Tuan Campbel dan Omura mendapatkan separuh hadiah nobel, senilai USD 960 ribu, berbagi dengan Tuan Youyou Tu yang mendapatkan separuhnya.
Campbell dan Omura dianugerahi hadiah nobel karena kerja ilmiahnya atas penemuan obat Avermectin yang efektif membunuh cacing Onchocerca volvulus penyebab penyakit River Blindness. Sedangkan, Youyou Tu diganjar hadiah nobel atas penemuan artemisinin, "obat herbal", yang efektif membunuh parasit malaria. Tahun 2015 adalah apresiasi dunia kedokteran untuk pemberantasan penyakit parasit.
Indonesia dan Nobel Kedokteran
Munggkin sebagian dari kita akan bertanya, kapan dokter di Indonesia akan mencicipi Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran? 2020? 2025? atau 2045? Indonesia sudah merdeka 70 tahun. Namun, rasanya perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran kita jalan di tempat.
Tahukah, sejawat? Indonesia sebenarnya pernah meraih Nobel Fisiologi atau Kedokteran, namun saat itu kita masih dijajah Belanda, tahun 1929. Adalah Dr. Christiaan Eijkman yang berhasil meraih Nobel Fisiologi atau Kedokteran tahun 1929 untuk kerja kerasnya membangun konsep vitamin.
Berawal dari instruksi Pemerintah Belanda yang menugaskan Dr. Eijkman dan tiga koleganya untuk menyelidiki penyakit beri-beri yang mewabah di Hindia Belanda (Indonesia), Dr. Eijkman menemukan bahwa wabah beri-beri yang terjadi bukan disebabkan oleh suatu mikroba, melainkan disebabkan oleh defisiensi vitamin B1 yang banyak terdapat di lapisan terluar beras.
Berkat kerja ilmiahnya tentang penyakit beri-beri, dokter Eijkman berhasil merevolusi konsep vitamin menjadi teori penting dalam ilmu pengetahuan kedokteran. Penemuan tersebut mendorong berbagai riset ilmiah untuk menemukan vitamin-vitamin baru yang penting dalam menjaga metabolisme tubuh yang normal.
Nama Dr. Eijkman diabadikan sebagai nama lembaga penelitian kedokteran yang didirikannya hampir lebih dari satu abad yang lalu. Lembaga Eijkman yang saat ini fokus dalam penelitian biomolekuler berlokasi di Jakarta. Lembaga Eijkman diharapkan dapat menjadi tulang punggung pembangunan ilmu pengetahuan kedokteran di Indonesia, namun untuk hadiah Nobel nampaknya masih jauh.
Indonesia Adalah Surga Ilmu Pengetahuan Kedokteran
Indonesia adalah surga ilmu pengetahuan kedokteran. Itu adalah fenomena yang sangat jarang kita sadari. Banyak dokter asing yang berbondong-bondong mengincar Indonesia sebagai tempat penelitian kedokteran.
Konsorsium ilmuan Jepang sudah lama "mencengkeramkan cakarnya" untuk meneliti berbagai penyakit infeksi di Indonesia, yang sebagian besar tidak ditemukan di sana. Peneliti-peneliti Belanda bahkan lebih jauh mendidik "otak-otak cerdas" Indonesia, sebagai peneliti yang nantinya bermanfaat menggali data-data kesehatan penting Indonesia.
Belakangan NIH, Departemen Kesehatan Amerika Serikat, menggelontorkan dana jutaan USD selama lima tahun ke depan berkolaborasi dengan ilmuan lokal untuk memetakan penyakit infeksi di Indonesia. Mereka memahami betapa "menggiurkannya" Indonesia dari sisi ilmu pengetahuan, sementara kita TIDAK!!!
Apakah Indonesia Butuh Nobel Kedokteran?
Jawabannya sangat tergantung dari visi awal. Jika kita hanya berharap Indonesia dapat menyelesaikan kesemerawutan pelayanan kesehatannya, tidak perlu lah hadiah Nobel. Cukup tingkatkan anggaran, tata ulang undang-undang, sejahterakan tenaga kesehatan dan evaluasi secara tertib. Kita punya sumberdaya besar, tinggal bagaimana mengelola agar dapat menghasilkan kesejahteraan untuk masyarakat luas.
Jika kita ingin Indonesia berdaulat dan dihormati dunia Internasional, dengan sangat tegas saya nyatakan INDONESIA BUTUH NOBEL!!!
Saya sangat mengapresiasi langkah Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung dengan mengirimkan ratusan alumnus untuk belajar Master dan PhD di Negara-Negara penghasil pemenang hadiah Nobel. Suatu saat, dalam sebuah pidatonya, dekan FK UNPAD menyatakan bahwa visi FK UNPAD adalah menelurkan setidaknya satu orang peraih Nobel Fisiologi atau Kedokteran yang pernah belajar di FK UNPAD. MULIA!!!
Meraih hadiah Nobel bukanlah tentang gagah-gagahan. Hadiah Nobel adalah tentang dampak yang akan dirasakan suatu institusi bahkan suatu bangsa. Sejawat mengenal Nama Prof. Abdus Salam?
Prof. Abdus Salam adalah seorang Ilmuan Fisika Teoritis kelahiran Pakistan yang memenangkan hadiah nobel fisika tahun 1979. Kemenangan Prof Abdus Salam ternyata tidak hanya berdampak pada "kekayaan materi" dan "kemahsyuran" pribadinya, tetapi juga perkembangan sains di Pakistan.
Paska kemenangan yang fenomenal, Prof. Abdus Salam memiliki pengaruh yang luar biasa untuk "melobi" universitas-universitas terbaik di dunia untuk menerima dan memberikan beasiswa kepada mahasiswa-mahasiswa terbaik di Pakistan. Sesuatu yang sangat sulit dan jarang terjadi sebelum tahun 1979.
Mimpi Nobel Indonesia
Indonesia, sebuah negara yang sangat besar dengan potensi sumberdaya yang luar biasa. Indonesia memiliki peluang besar untuk, suatu saat nanti, melahirkan seorang pemenang hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran. Kuncinya adalah will dari para Pemimpin kita untuk berinvestasi besar dalam ilmu pengetahuan.
Menyedihkan, anggaran riset total dalam APBN kita hanya 0,09% Produk Domestik Bruto (PDB). Masih jauh dari standar UNESCO 2% PDB. Indonesia masih jauh dari hadiah Nobel. Jangankan berfikir untuk hadiah Nobel, bersaing dengan Negara tetangga seperti Singapore, Malaysia dan Thailand pun Indonesia masih jauh.
Namun, saat kita meluap-meluap membicarakan tentang target tinggi jangka panjang, hati kecil saya terkadang terusik. Saya tidak habis pikir, mengapa saya bermimpi hadiah Nobel untuk Indonesia padahal setiap tahun ada jutaan ibu yang meninggal sia-sia saat melahirkan. Padahal masih banyak tenaga kesehatan yang belum sejahtera, "terbelenggu dalam kekuasaan" BPJS. Padahal masih banyak daerah di Indonesia yang masih belum "merdeka" dari Malaria. Dan masih banyak padahal-padahal yang lainnya.
Semoga Indonesia bisa.
====
Sponsored
Rilis September 2015, Buku Panduan Praktik Klink dan Clinical Pathway PAPDI sudah jadi Most Wanted Book yang banyak dicari oleh dokter di seluruh Indonesia.
Kemarin kita juga survey di Gramedia dan Toga Mas juga masih kosong. Jangan heran kalo stok sering habis di toko buku 😀
Daripada nunggu di toko buku. Mending langsung aja….
PESAN SEKARANG JUGA via Dokter Post!!!
Caranya: Inbox aja ke FP Dokter Post sekarang juga
atau SMS/WA 081234008737
Buruan, sebelum kehabisan!!!