Diagnosis dan Terapi Refluks Gastroesofageal di Puskesmas

Image Description
Admin Dokter post
Nov 10, 2017
Tabel Diagnosis GERD Q stripalllossy1ssl1

Penyakit refluks gastroesofageal atau GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) seringkali menyebabkan kepanikan pasien yang datang ke IGD karena dianggap sebagai penyakit jantung. Hal ini berkaitan dengan keluhan rasa tidak nyaman di dada yang mirip angina pektoris. Kepanikan ini mendorong pasien dengan gejala GERD untuk datang ke IGD ataupun fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskesmas).

Refluks gastroesofageal merupakan gangguan di mana isi lambung mengalami refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang menyebabkan terjadinya gejala dan/atau komplikasi yang menganggu. GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung.

Secara umum, prevalensi refluks gastroesofageal di Asia lebih rendah daripada di Negara Barat. Diperkirakan 14 – 20 % penduduk dewasa di Amerika menderita refluks gastroesofageal. Prevalensi di Asia berkisar 3 – 5 % dengan pengecualian di Jepang dan Taiwan berkisar 15%. Di Indonesia sendiri belum ada data yang lengkap namun ada kecenderungan peningkatan rata- rata 13,13 % pertahun dari data yang ada.

Faktor resiko terjadinya GERD antara lain:

  1. Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, dan calcium channel blocker.
  2. Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan rokok.
  3. Hormon, pada wanita hamil disebabkan olehpeningkatan hormon progesterone dan pada wanita menopause disebabkan oleh terapi hormon estrogen.
  4. Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia atau panjang LES (Lower Esophageal Spincter) yang kurang dari 3 cm.
  5. Indeks masa tubuh (IMT), dimana peningkatan IMT sebanding dengan resiko terjadinya GERD.

Berdasarkan lokasi gejalanya, GERD dibagi menjadi dua, yaitu sindrom esofageal dan ekstraesofageal. Sindrom esofageal merupakan refluks esofageal yang disertai dengan atau tanpa adanya lesi struktural. Gejala sindrom esofageal tanpa lesi struktural berupa heartburn, regurgitasi, dan nyeri dada non kardiak. Sedangkan pada sindrom esofageal disertai lesi struktural, berupa refluks esofagitis, striktur reflukks, Barret’s esophagus, adenokarsinoma esofagus. Sindrom ekstraesofageal biasanya terjadi akibat refluks jangka panjang dan bersifat non-spesifik.

Gejala utama refluks gastroesofageal adalah heart burn, yaitu rasa panas seperti terbakar di daerah substernal, regurgitasi serta disfagia. Keluhan biasanya dirasakan setelah makan dengan volume banyak dan berlemak atau saat berbaring.

Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi, disfagia hingga odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan Barret’s Esophagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada nonkardiak, batuk kronik, asma, laringitis, dan otitis media merupakan gejala ekstraesofageal penderita GERD.

Diagnosis dan Terapi Refluks Gastroesofageal

Sebagai dokter umum, kita seringkali kesulitan untuk menegakkan diagnosis dan merencanakan terapi pada pasien refluks gastroesofageal di fasilitas kesehatan tingkat pertama karena keterbatasan alat penunjang diagnostik.

Berdasarkan Guideline for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease (dikeluarkan oleh American College of Gastroenterology), diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan:

  1. Terapi empirik
  2. Endoskopi
  3. Ambulatory Reflux Monitoring(dilakukan pemeriksaan selama 24 jam untuk menilai paparan asam dalam esofagus dan mengkorelasikan dengan gejala yang ada).
  4. Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi ekskluasi kelainan motilitas seperti achalasia atau aperistalti).

Terapi empirik merupakan pendekatan diagnosis yang dapat diterapkan di fasilitas kesehatan tingkat pertama karena sederhana dan tidak memerlukan alat penunjang diagnostik.
Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil anamnesis dan pengisian kuisioner, serta berdasarkan hasil uji terapi PPI (proton pump inhibitor). Selain itu, gejala GERD juga dapat dinilai dengan Gastroesophageal Reflux Disease Questionnairre (GERD-Q).

GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada kualitas hidup penderita serta efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari terakhir.

Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor > 8 maka pasien tersebut memiliki kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut. Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk memantau respon terapi.

Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis GERD adalah uji terapi PPI (PPI test). Tes ini dilakukan dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1–2 minggu tanpa didahului endoskopi. Jika gejala menghilang dengan pemberian PPI dan muncul kembali jika terapi dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan.

Uji terapi PPI dikatakan postif jika terjadi perbaikan klinis dalam 1 minggu sebanyak lebih dari 50 %. Indikasi uji terapi ini adalah penderita dengan gejala klasik GERD tanpa tanda-tanda alarm (disfagia progresif, odinofagia, penurunan berat badan, anemia, hematemesis-melena, riwayat keluarga dengan keganasan, penggunaan NSAID kronik, usia >40 tahun di daerah prevalensi kanker lambung tinggi ) dan yang tidak respon dengan uji terapi empirik dengan PPI 2 kali sehari.

Pemeriksaan standar baku untuk menegakkan GERD adalah endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA). Endoskopi terutama dilakukan pada penderita GERD dengan gejala alarm.
Pemeriksaan endoskopi menilai berat ringannya mucosal break pada penderita refluks gastroesofageal. Di Indonesia, fasilitas endoskopi hanya ada di fasilitas kesehatan tingkat lanjut.

Terapi Refluks Gastroesofageal

Tatalaksana refluks gastroesofageal meliputi tindakan terapi non-farmakologi, farmakologi, endoskopik, dan bedah. Ada 5 target yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan GERD yaitu menghilangkan gejala/keluhan, menyembuhkan lesi esofagus, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.

Terapi Non-Farmakologi

Terapi non-farmakologik dilakukan dengan modifikasi gaya hidup meliputi:

  1. Meninggikan posisi kepala 6 inchi (15 – 20 cm ) saat tidur
  2. Menurunkan berat badan sesuai IMT ideal.
  3. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat, minuman mengandung kafein, alkohol dan makanan berlemak – asam – pedas.
  4. Makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur.
  5. Tidak makan terlalu kenyang.

Terapi Farmakologi

Obat golongan PPI (protont pump inhibitor) merupakan obat pilihan yang terbukti efektif mengatasi gejala serta menyembuhkan lesi esofagitis. Terdapat 5 jenis PPI yang beredar di pasaran yaitu omeprazol 20 mg, pantoprazol 40 mg, lansoprazol 30 mg, esomeprazol 40 mg, dan rabeprazol 20 mg.

PPI dosis tunggal umunya diberikan pada pagi hari sebelum makan pagi, sedangkan dosis ganda diberikan sebelum makan pagi dan sebelum makan malam.

Terapi inisial GERD adalah PPI dosis tunggal selama 8 minggu. Jika gejala tidak membaik atau gejala terasa mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan dengan PPI dosis ganda selama 4–8 minggu. Bila penderita mengalami kekambuhan, terapi inisial dapat dimulai kembali dan dilanjutkan dengan terapi maintenace berupa PPI dosis tunggal selama 5 – 14 hari.

Selaim PPI, obat lain dalam pengobatan GERD adalah antagonis reseptor H2, antasida, dan prokinetik. Antagonis reseptor H2 dan antasida digunakan untuk mengatasi gejala refluks ringan dan terapi maintenance bersama PPI.

Penatalaksanaan endoskopik untuk mengatasi komplikasi GERD seperti Barret’s Esofagus, stenosis, atau perdarahan, dapat dilakukan argon plasma, coagulation, ligasi, endoscopic mucosal resection, bouginasi, hemostasis, atau dilatasi. Tindakan bedah untuk anti refluks dan mengatasi komplikasi.

Semoga Bermanfaat^^


Sponsored Content

Penjelasan praktis tentang tatalaksana pasien GERD dibahas lebih lengkap di versi update tahun 2018 "BUKU 155 DIAGNOSIS DAN TERAPI FASKES PRIMER" halaman 206-207.

Buku paling dicari dokter puskesmas, IGD dan Klinik Pratama dari aceh-papua ini sudah mau terbit lagi, setelah 3000 eksemplar sold out < 30 hari.

promo-buku-155-diagnosis-terapi-pak-dhe-wahono

Ini kata dr Nares, TS dari Jakarta tentang "BUKU 155 DIAGNOSIS DAN TERAPI FASKES PRIMER"

testimoni-Buku-155-drNares

Kamu bisa pesan bukunya via WA 085608083342 (Yahya) atau link order ini

Jangan sampai nggak kebagian kayak kemarin^^

Related articles

  • Jul 31, 2020
Tatalaksana Chest Clapping untuk Fisioterapi Dada Pasien PPOK

Mukus atau secret diperlukan oleh tubuh untuk melembabkan dan menangkap mikroorganisme kecil...

  • May 09, 2020
Perubahan Diagnosis Dengue ICD 11

Tau dong, WHO sudah meluncurkan ICD seri 11, untuk menggantikan ICD 10. Ada perubahan signifikan...

  • May 02, 2020
Rangkuman Webinar PAPDI 30 April 2020

Bagus banget webinar PAPDI kemarin, tanggal 30 April 2020. Terutama materi yang dijelaskan Dr....