Diagnosis dan Terapi Ensefalopati Hepatik: Fasilitas Kesehatan Dengan Sumber Daya Terbatas

Image Description
Admin Dokter post
May 23, 2016
Algoritma ensefalopati hepatik stripalllossy1ssl1

Ensefalopati hepatik adalah spektrum kelainan neuropsiklatri pada pasien dengan disfungsi hati, setelah menyingkirkan kelainan di otak lainnya. Ensefalopatik hepatik ditandai dengan perubahan kepribadian, gangguan intelektual, dan berbagai tingkat penurunan kesadaran.

Ensefalopati hepatik dibagi menjadi 3 Tipe. Ensefalopati hepatik tipe A, merupakan ensefalopati yang terkait dengan kegagalan hati akut. Ensefalopati hepatik tipe B untuk menggambarkan gangguan akibat Bypass portal-sistemik tanpa ada penyakit hepatoselular intrinsik. Ensefalopati hepatik Tipe C, yaitu ensefalopati yang terkait dengan sirosis dan hipertensi portal atau pirai portal-sistemik. Ensefalopati hepatik tipe C memiliki subkategori episodik, menetap, atau minimal.

Grading Ensefalopati Hepatik

Grading gejala ensefalopati hepatik sesuai dengan sistem yang disebut klasifikasi West Haven:

  1. Grade 0 – hepatik ensefalopati Minimal (ensefalopati hepatik subklinis) perubahan minimal terdeteksi dalam kepribadian atau perilaku. Perubahan minimal dalam memori, konsentrasi, fungsi intelektual, dan koordinasi. Asteriksis tidak ada.
  2. Grade 1 – berkurangnya kesadaran dalam menjawab pertanyaan. Rentang perhatian mudah beralih. Gangguan penambahan/pengurangan, (hipersomnia, insomnia) atau inversi pola tidur. Euforia, depresi atau lekas marah, kebingungan ringan. Perlambatan kemampuan untuk melakukan tugas/fungsi mental. Asteriksis sudah mulai nampak.
  3. Grade 2 – kelesuan, apatis dan Disorientasi. Perilaku yang tidak pantas. Bicara cadel. Asteriksis nampak jelas. Mengantuk, lesu, defsit pada kemampuan untuk melakukan tugas mental, perubahan kepribadian yang jelas, perilaku yang tidak pantas, dan disorientasi intermiten, biasanya mengenai waktu.
  4. Grade 3 – mengantuk tetapi dapat dibangunkan, tidak dapat melakukan tugas mental, disorientasi tentang waktu dan tempat, kebingungan ditandai, amnesia, mudah marah
  5. Grade 4 – koma dengan atau respon terhadap rangsangan nyeri.

Diagnosis Ensefalopati Hepatik

Kelainan ini sebaiknya diwaspadai sejak masih dini, karena ensefalopati hepatik ringan pada pasien sirosis dapat memicu terjadinya kecelakaan pada penderita yang masih aktif mengemudikan kendaraan bermotor.

Idealnya, diagnosis ensefalopati hepatik ditegakkan dengan pemeriksaan neurofisiologis, komputerisasi, pennetuan kadar amonia. Pemeriksaan penunjang pencitraan yang dapat digunakan diantaranya adalah MRI dan CT-Scan, namun kurang spesifik.

Di Fasilitas kesehatan terbatas, diagnosis ensefalopati dapat ditegakkan secara sederhana secara klinis. Penggunaan pedoman grading ensefalopati hepatik di atas dapat digunakan pada pasien dengan kecurigaan gagal hati akut.

Pemeriksaan neurofisiologis yang lengkap adalah metode terbaik untuk menilai apakah penderita mengalami gangguan kognitif dan hubungannya dengan pola hidup sehari-hari. Tes umum Neurofisiologis yang digunakan adalah tes koneksi nomor, tes simbol digital, uji desain blok, dan lain-lain.

Alternatif lain adalah tes yang menggunakan komputerisasi. Tes waktureaksi terhadap cahaya atau suara disebut critical flicker frequency test. Pasien sirosis dengan nilai CFF kurang dari 38 Hz memiliki risiko tinggi untuk terjadinya ensefalopati hepatik.

Tingkat amonia darah tinggi merupakan kelainan klasik yang dilaporkan pada pasien dengan ensefalopati hepatik. Temuan ini dapat membantu dalam mendiagnosa secara tepat pasien sirosis dengan status mental berubah. Hanya saja spesimen darah vena harus diperiksa secara teliti ketika memeriksa tingkat amonia.

Darah diambil dari ekstremitas yang telah terpasang torniket dapat memberikan tingkat amonia tinggi palsu. Untuk mendapatkan hasil terbaik Specimen harus diambil tanpa memprovokasi aliran darah dan dibutuhkan media es saat mengirim ke laboratorium serta segera di periksa dalam waktu 30 menit setelah diambil.

EEG dapat menunjukkan penurunan frekuensi rata-rata dari aktivitas listrik otak yang terjadi pada ensefalopati hepatik. Perubahan EEG klasik yang terkait dengan ensefalopati hepatik adalah amplitudo gelombang frekuensi rendah dan gelombang trifasik.

Walaupun temuan ini tidak spesifik untuk ensefalopati hepatik tapi EEG dapat membantu dalam pemeriksaan awal pasien dengan sirosis dan perubahan status mental.

Computed tomography (CT) dan MRI otak mungkin penting dalam menyingkirkan kemungkinan lesi intrakranial bila diagnosis ensefalopati hepatik meragukan. MRI memiliki keuntungan tambahan yang mampu menunjukkan hiperintensitas dari globus pallidus, sebuah temuan yang umumnya dijumpai pada ensefalopati hepatik. Temuan ini mungkin berkolerasi dengan peningkatan deposisi mangan di Globus palidus otak.

Faktor Pencetus Ensefalopati Hepatik

Faktor pencetus umum adalah sebagai berikut:

  1. Gagal ginjal: yang menyebabkan penurunan bersihan urea, amonia, dan senyawa nitrogen lainnya.
  2. Perdarahan gastrointentinal: adanya darah dalam saluran gastrointestinal atas meningkatkan amonia dan penyerapan nitrogen dari usus. Perdarahan mungkin juga menyebabkan hipoperfusi ginjal dan gangguan fungsi ginjal. Transfusi darah dapat mengakibatkan hemolisis ringan, yang meningkatkan amonia darah.
  3. Infeksi dan sepsis: infeksi dapat mempengaruhi fungsi ginjal dan meningkatkan katabolisme jaringan, sehingga tingkat amonia darah meningkat.
  4. Sembelit: sembelit meningkatkan produksi dan penyerapan amonia di usus.
  5. Obat-obatan: obat yang bekerja pada sistem saraf pusat, seperti analgetik narkotik opiat, benzodiazepin, antidepresan, dan agen antipsikotik, dapat memperburuk ensefalopati hepatik.
  6. Terapi diuretik: penurunan kadar kalium serum dan alkalosis dapat memfasilitasi konversi dari NH4 + NH3
  7. Hipovolemia akibat overdiuresis, parasintesis berlebihan, diare, muntah-muntah, ayok.
  8. Pirai portosistemik: spontan, akibat operasi, TIPS.
  9. Overload diet protein: merupakan penyebab ensefalopati hepatik yang lebih jarang.

Penatalaksanaan Ensefalopati Hepatik

  1. Pemberian Terapi Suportif
    Perawatan suportif yang adekuat mutlak diperlukan pada semua stadium dari ensefalopati hepatik. Harus dikerjakan pemantauan tanda-tanda vital dan status volume dari penderita. Standar penanganan dengan pertimbangan khusus diperlukan oleh staf medik yang menangani mengingat kondisi kesadaran yang dapat berubah dengan cepat dan membahayakan nyawa pasien.
  2. Identifikasi dan Hilangkan Faktor Prepitasi
    • Evaluasi adanya perdarahan dari saluran cerna dan tanda anemia
    • Evaluasi kemungkinan adanya infeksi dan bila perlu dikerjakan kultur
    • Evaulasi adanya gangguan fungsi ginjal, dan ketidakseimbangan elektrolit termasuk adanya metabolik asidosis dan alkolosis, hipokalemia dan dehidrasi akibat penggunaan dierutika
    • Evaluasi adanya kelainan metabolik-endokrin yang lain seperti hipoksia, dan hipoglikemia
    • Evaluasi adanya riwayat penggunaan obat psikoatif seperti benzodiazepine atau sedasi yang lain. Pasien dengan agitasi parah dan ensefalopati hepatik dapat menerima haloperidol sebagai obat penenang.
    • Evaluasi konstipasi dan diet protein berlebihan
  3. Mengurangi beban nitrogen berlebihan dari usus dengan mengerjakan kumbah lambung, pemberian enema disakarida yang tidak diserap dan pemberian antibiotik.

Terapi Ensefalopati Hepatik pada Fasilitas Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas

Banyak modalitas terapi yang dapat diberikan pada pasien ensefalopati hepatik. Namun dalam artikel ini hanya akan dibahas modalitas terapi yang dapat diberikan pada fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas. Modalitas terapi yang lebih lengkap dapat sejawat baca di BUKU EIMED BIRU.

Diet Ensefalopati Hepatik

Diet rendah protein selama ini secara rutin direkomendasikan untuk pasien dengan sirosis, dengan harapan penurunan produksi amonia usus dan mencegah eksaserbasi ensefalopati hepatik. Konsekuensi yang jelas adalah memburuknya kekurangan energi protein yang sudah ada sebelumnya.

Pembatasan protein mungkin cocok pada beberapa pasien segera setelah fase akut (misalnya, pada ensefalopati hepatik episodik). Namun, pembatasan protein tidak dibenarkan pada pasien dengan sirosis dan ensefalopati hepatik persisten, karena kekurangan gizi adalah masalah klinis yang lebih serius daripada ensefalopati hepatik untuk banyak pasien.

Diet protein dimulai dengan 0,5 mg/kgbb/hari dan secara progresif ditingkatkan menjadi 1-2 gr/kgbb/hari. Diet yang mengandung protein nabati tampaknya ditoleransi lebih baik daripada diet kaya protein hewani, terutama protein yang berasal dari daging merah. Ini mungkin karena kandungan serat makanan, merupakan sebuah katarsis alami, dan akan menurunkan asam amino aromatik.

Asam amino aromatik, perkursor untuk nuerotransmiter palsu tiramin dan octopamine, diperkirakan menghambat meurotransmisi dopaminergik dan memerburuk ensefalopati hapatik.

Perhitungan nutrisi pada pasien dengan ensefalopati hepatik akut

  • Asupan kalori yang cukup
    30 Kcal/Kg BB/hari
  • Restriksi diet protein
    Hari 1-3 : 30 gr/hari
    Selanjutnya : 1-2 gr/Kg BB/hari
  • Peningkatan kalori dari glukosa/lipid
    BCAA (asan amino rantai cabang)
    0.2-1.2 gr/Kg BB/hari
  • Pemberian vitamin & trace elemen
    • Vitamin B
    • Vitamin K
    • Zinc

Laksans

Luktosa (beta-galactosidofructose) dan licotil (beta-galactosidosorbitol) adalah disakarida yang tidak diserap usus, yang telah digunakan secara luas sejak awal 1970-an. Zat yang merupakan suatu osmotik laksatif ini terdegredasi oleh bakteri usus menjadi asam laktat dan asam organik lainnya.

Laktulosa menghambat produksi amonia usus melalui sejumlah mekanisme. Konversi Laktulosa menjadi asam laktat berfungsi dalam pengemasan lumen usus, konversi NH4 + ke NH3 dan perpindahan NH3 dari jaringan ke lumen, serta menghambat difusi balik ammonia ke sirkulasi. Pengasaman usus menghambat bakteri koliform ammoniagenik, mendorong peningkatan Laktobalisus non-ammoniagenik.

Laktulosa diduga menghambat aktivitas glutaminase di intestin. Laktulosa juga bekerja sebagai katarsis, mengurangi beban bakteri kolon.

Dosis awal Laktulosa adalah 30 mL secara oral, satu atau dua kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan bila ditoleransi dengan baik. Pasien harus diintruksi untuk mengurangi dosis laktulosa bila terjadi diare, kram perut, atau kembung. Pasien dikatakan menggunakan laktulosa cukup, bila telah BAB cair 2-4 per hari.

Dosis tinggi laktulosa dapat diberikan secara oral atau melalui pipa nasogastrik untuk pasien rawat inap dengan ensefalopati hepatik parah. Laktulosa dapat diberikan sebagai enema untuk pasien yang koma dan tidak mampu minum obat melalui mulut. Pemberian dosis yang dianjurkan adalah 300 ml laktulosa ditambahi 700 mL air, diberikan sebagai enema retensi setiap 4 jam sesuai kebutuhan.

Laktulosa telah menjadi subjek dari puluhan uji klinis selama hampir 4 dekade. Banyak percobaan menunjukkan hasil yang baik dalam pengobatan ensefalopati hepatik. Namun, terdapat mata-analisis yang bertentangan dengan percobaan diatas, dikatakan laktulosa tidak lebih efektif daripada plasebo pada gejala ensefalopati.

Dalam uji coba membandingkan laktulosa terhadap antibiotik (misalnya, neomisin, rifaximin), laktulosa justru menunjukan hasil lebih interior dibanding terapi antibiotik.

Terapi Antibiotik Ensefalopati Hepatik

Neomycin dan antibiotik lainnya, seperi metronidazole, vankomisin oral, paromomycin, dan kuinolon oral, diberikan dalam upaya untuk menurunkan konsentrasi bakteri kolon ammoniagenik. Dosis neomisin awal adalah 250 mg per oral 2-4 kali sehari. Dosis setinggi 4000 mg/hari dapat diberikan.

Neomycin biasanya digunakan sebagai agen lini kedua, setelah mulai pengobatan dengan laktulosa. Pengobatan jangka panjang dengan aminoglikosida memiliki risiko ototoksisitas dan nefrotoksisitas.

Rifaximin, turunan rifampisin yang tidak diserap usus, telah digunakan di Eropa selama 18 tahun untuk berbagai indikasi. Pada tahun 2004, obat ini menerima persetujuan oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat untuk pengobatan "diare pada pelancong", dan baru pada tahun 2005, ia digunakan sebagai pengobatan untuk ensefalopati hepatik.

Berbeda dengan neomisin, yang profil tolerabilitas sebanding dengan plasebo. Beberapa uji klinis telah menunjukkan bahwa rifaximin pada dosis 400 mg secara oral 3 kali sehari sama efektifnya dengan laktulosa atau lactilol untuk memperbaiki gejala ensefalopati hepatik.

Demikian pula, rifaximin sama efektifnya dengan neomisin dan paromomycin. Rifaximin lebih baik ditoleransi daripada, laksan maupun antibiotik nonabsorbable lainnya.

Obat ini akan menghambat pertumbuhan bakteri aerob di intensine yang akan mengurangi produksi ammonia usus. Ia juga mengurangi aktivitas glutaminase di usus serta mengatasi pertumbuhan berlebihan bakteri usus halus.

Obat lain yang dapat dipergunakan adalah metronidazole, yang walaupun belum diterima oleh FDA tetapi ternyata setara dengan neomycin dengan dosis 2×250 mg, kerugiannya akumulasi obat pada penderita dengan penyakit hati lanjut, yang menimbulkan toksisitas CNS dan neuropati perifer. Nitazoxanide yang sedang dalam pengembangan, nampaknya cukup menjanjikan.

Di Fasilitas Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas, sebaiknya ensefalopati hepatik dirawat dengan setting ICU. Angka mortalitas ensefalopati hepatik yang masih tinggi, menjadi justifikasi tingkat kegawatdaruratan penyakit ini.

Semoga bermanfaat.

=
Sponsored Content

Anda Seorang Internis?? PPDS Interna?? atau Dokter Umum di IGD???

Buku EIMED BIRU (Emergency in Internal Medicine Advance) adalah buku yang anda butuhkan.

Buku Seberat 1,3 kg ini berisi puluhan topik kegawatdaruratan spesifik di bidang penyakit dalam

  1. Kegawatdaruratan Sidroma Koroner Akut
  2. Kegawatdaruratan Pneumonia (CAP, HAP dan VAP)
  3. Kegawatdaruratan Krisis Hiperglikemia (KAD dan HONK)
  4. Kegawatdaruratan Sepsis
  5. Kegawatdaruratan Infeksi Virus Dengue
  6. Kegawatdaruratan Penyakit Ginjal Kronik
  7. dan Puluhan Topik Kegawatdaruratan Spesifik yang lain

Jika anda sudah membaca EIMED MERAH (Emergency in Internal Medicine Basic), melengkap kompetensi anda dengan EIMED BIRU adalah pilihan cerdas di era BPJS dan MEA seperti saat ini.

Garansi 30 hari Free Retur, artinya jika dalam 30 hari anda menemukan kecacatan dalam cetakan buku (Halaman Kurang atau Halaman Tercetak Kosong) anda dapat mengirimkan kembali buku untuk kami tukar dengan buku yang baru, FREE ONGKIR!!!

Jadi Tunggu Apalagi, segera pesan buku EIMED BIRU melalui SMS/WA ke 081234008737!!!

Limited Stock^^

Related articles

  • Jul 31, 2020
Tatalaksana Chest Clapping untuk Fisioterapi Dada Pasien PPOK

Mukus atau secret diperlukan oleh tubuh untuk melembabkan dan menangkap mikroorganisme kecil...

  • May 09, 2020
Perubahan Diagnosis Dengue ICD 11

Tau dong, WHO sudah meluncurkan ICD seri 11, untuk menggantikan ICD 10. Ada perubahan signifikan...

  • May 02, 2020
Rangkuman Webinar PAPDI 30 April 2020

Bagus banget webinar PAPDI kemarin, tanggal 30 April 2020. Terutama materi yang dijelaskan Dr....