Diagnosis dan Terapi Alergi Obat

Image Description
Admin Dokter post
Apr 03, 2018
Img 61e7639e35176 stripalllossy1ssl1

Adverse Drug Reaction (ADR) adalah reaksi yang berbahaya dan tidak mengenakkan yang dihasilkan dari intervensi yang berkaitan dengan produk medis, yang dapat memprediksi bahaya dari pemberian berikutnya dan membutuhkan pencegahan atau perlakuan spesifik, atau penggantian regimen dosis, atau penarikan produk.

Hampir 1/3 dari ADR pada pasien rawat inap adalah reaksi alergi atau secara klinis mirip dengan reaksi alergi. Reaksi lainnya adalah idiosinkrasi, pseudo-alergi, atau intoleransi obat. ADR harus dibedakan dengan Adverse Drug Events (ADE), ADE adalah reaksi yang disebabkan oleh kesalahan peresepan atau penggunaan dari obat yang tidak disengaja.

Diagnosis dan Terapi Alergi Obat

Klasifikasi ADR masih belum jelas karena mekanisme yang mendasari proses ini pada banyak obat masih belum dipahami, namun secara praktis dapat dibedakan menjadi reaksi yang dapat mengenai siapa saja (tipe A), atau hanya mengenai individu yang rentan (tipe B). Pada exanthema yang diinduksi oleh obat-obatan, mekanisme yang mendasari adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed type).

Alergi obat membutuhkan paparan sebelumnya dengan obat yang sama atau zat yang bereaksi silang (sensitisasi) dengan dosis yang ditoleransi dengan mayoritas individu, walaupun pasien tidak selalu memiliki riwayat paparan obat sebelumnya.
Selain riwayat konsumsi obat atau zat terkait sebelumnya, faktor risiko dari alergi obat adalah penggunaan obat melalui jalur parenteral dan topikal karena dapat menimbulkan sensitisasi.

Pemberian obat dalam waktu lama dan dosis yang lebih sering lebih berisiko dibandingkan pemberian dosis tunggal. Predisposisi atopik tidak meningkatkan kejadian reaksi alergi tetapi dapat berkontribusi dalam menimbulkan reaksi alergi yang lebih berat. Pasien dewasa muda, wanita dan pasien dengan penyakit HIV, herpes virus, dan cystic fibrosis lebih berisiko terkena reaksi alergi obat.

Ketika memeriksa pasien dengan kecurigaan alergi obat, maka anamnesis dan pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan cermat. Kemungkinan reaksi disebabkan oleh alergi obat bila terjadi selama atau sesudah penggunaan obat dan obat tersebut diketahui dapat menyebabkan reaksi tersebut, atau pasien memiliki riwayat reaksi serupa dengan obat yang sama atau kelas obat yang sama.

Bila pasien memiliki reaksi yang sama di saat tidak memakai obat tersebut, atau pada pasien hanya ada gejala gastrointestinal, maka kemungkinan reaksi bukan disebabkan alergi obat.

Tanda-tanda terjadinya alergi dapat dibedakan berdasarkan waktu kemunculannya. Reaksi cepat yang dapat terjadi adalah reaksi anafilaksis dengan melibatkan multi sistem dan berat seperti eritema, urtikaria, angioedema, hipotensi dan/atau bronkospasme. Bisa juga terjadi urtikaria atau angioedema tanpa gejala sistemik, dan eksaserbasi dari asma. Awitan dari reaksi cepat ini biasanya kurang dari 1 jam setelah paparan obat (paparan obat sebelumnya tidak selalu ada).

Kemudian reaksi obat juga dapat terjadi setelah 6-10 hari dari paparan obat, atau dalam 3 hari setelah paparan kedua dari obat, tanpa gejala sistemik. Gejala yang muncul berupa makula eritematus atau papula yang menyebar seperti exanthem, atau reaksi inflamasi lokal (fixed drug eruption). Reaksi yang melibatkan sistemik dapat juga terjadi yang disebut Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) atau drug hipersensitivity syndrome (DHS).

Gejala yang muncul adalah adanya makula eritema, papula atau eritroderma, demam, limfadenopati, disfungsi liver, dan eosinofilia dimulai 2-6 minggu setelah paparan pertama obat atau dalam 3 hari setelah paparan kedua.

Alergi obat yang menimbulkan gejala sistemik dapat muncul dalam bentuk toxic epidermal necrolysis (TEN) atau Stevens-Johnson syndrome (SJS) yang ditandai dengan demam dan ruam yang nyeri, erosi mukosa atau kulit, vesikel, blister atau pengelupasan epidermal, makula purpuric eritema atau eritema multiforme.

TEN atau SJS dapat menimbulkan gejala 7-14 hari setelah paparan pertama obat atau dalam 3 hari setelah paparan obat kedua. Acute generalised exanthematous pustulosis (AGEP) merupakan bentuk lain dari reaksi alergi dengan gejala sistemik. Gejala yang muncul adalah demam, penyebaran pustula dan neutrofilia biasnaya 3-5 hari setelah paparan obat pertama. Selain itu penyakit yang dapat disebabkan oleh alergi obat adalah eczema, hepatitis, nefritis, fotosensitivitas, dan vaskulitis.

Ketika seseorang dicurigai mengalami alergi obat, perlu dicatat nama generik maupun nama paten dari obat yang dicurigai menjadi penyebab reaksi, deskripsi reaksi alergi, indikasi dari pemberian obat, tanggal dan waktu reaksi, dosis dan jumlah hari penggunaan obat sebelum awitan reaksi, rute pemberian, dan obat atau kelas obat apa yang harus dihindari di kemudian hari.

Pertimbangkan untuk menghentikan konsumsi obat yang dicurigai dan memberitahukan pada pasien untuk menghindari obat tersebut di kemudian hari. Fasilitas primer perlu menangani reaksi akut, dan bila perlu pada kasus reaksi berat seperti DRESS, SJS, atau TEN dapat rujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi.

algoritme-penatalaksanaan-syok-anafilaktik

Anafilaksis dapat menimbulkan gejala ringan seperti gatal atau urtikaria, namun reaksi yang berat dapat menimbulkan hipotensi dan obstruksi jalan nafas yang dapat mengancam nyawa sehingga harus ditangani dengan tepat dan mencegah adanya reaksi lebih lanjut. Bebaskan jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat pada pasien serta pasang akses intravena. Tanpa memandang beratnya gejala sekali diagnosis telah ditegakkan maka pemberian epinefrin tidak boleh ditunda. Epinefrin 1:1000 diberikan 0,01 ml/kgBB maksimal 0,3 ml subkutan diberikan tiap 15-20 menit sampai 3-4 kali.

Bila gejala memburuk atau bila sejak awal penyakitnya sudah berat suntikkan intramuskuler dan dapat dinaikkan 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kelainan jantung.

Bila edema laring telah terjadi terkadang perlu dilakukan tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi bila tidak ada tenaga ahli. Intubasi trakea pada pasien edema laring sulit dilakukan dan dapat menambah beratnya obstruksi. Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran nafas bagian bawah yaitu dengan nebulisasi beta 2 agonis misalnya salbutamol 0,25cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% atau aminofilin 5-6 mg/kgBB diencerkan dalam 20cc dekstrosa 5% atau NaCl 0,9 % selama 15 menit.

Pasien dengan hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan epinefrin menandakan terjadi kekurangan cairan intravaskular. Berikan cairan kristaloid atau koloid. Dianjurkan memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid.

Bila tekanan darah masih belum diatasi dengan cairan dapat diberikan vasopresor. Larutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml desktrosa dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit. Dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.

Pada kasus yang lebih ringan dapat diberikan obat simtomatis dengan antihistamin 1 (klasik). Obat tersebut memiliki efek sedasi contohnya klorfeniramin 3 x 4 mg, difenhidramin 10-25 mg malam hari, prometazin 25 mg malam hari. Beberapa antihistamin non sedasi yang dapat digunakan adalah setirizin 1 x 10 mg, loratadin 1 x 10 mg, akrivastin 3 x 4 mg dan feksofenadin 1 x 180 mg.

Pada beberapa kasus diperlukan kortikosteroid. Bila gejala mengganggu aktivitas pasien dapat diberikan dosis tinggi steroid secara oral contohnya prednisolon 60 mg sehari untuk 3-5 hari.

Pengukuran serum triptase direkomendasikan setelah anafilaksis. Pemeriksaan IgE spesifik terhadap obat-oabatan tertenru juga dapat dilakukan namun direkomendasikan dilakukan oleh spesialis. Bila tidak tersedia maka alternatif lain adalah pemeriksaan skin prick atau challenge obat sebelum dirujuk untuk penyelidikan lebih lanjut.

Uji provokasi maupun desensitasi dapat menimbulkan reaksi berat hingga kematian, sehingga diperlukan syarat bahwa obat tersebut berindikasi kuat dan tidak ada obat alternatif lain.

Semoga Bermanfaat^^


Sponsored Content

Buku paling dicari dokter puskesmas, IGD dan Klinik Pratama dari aceh-papua ini sudah mau terbit lagi. Versi update tahun 2018 "BUKU 155 DIAGNOSIS DAN TERAPI FASKES PRIMER"

Suah di pesan 1500++ dokter pada masa pre-order kemarin

Harganya 199 ribu.

Tanggal 18 April 2018 buku sudah ready. Buat kamu yang sudah pre-order, buku akan dikirim segera setelah ready.

Kalau kamu belum pre-order kemarin, isi form waiting list supaya kamu nggak ketinggalan info rilisnya => FORM WAITING LIST BUKU 155 DIAGNOSIS DAN TERAPI FASKES PRIMER

Jangan sampai nggak kebagian kayak kemarin^^

Related articles

  • Jul 31, 2020
Tatalaksana Chest Clapping untuk Fisioterapi Dada Pasien PPOK

Mukus atau secret diperlukan oleh tubuh untuk melembabkan dan menangkap mikroorganisme kecil...

  • May 09, 2020
Perubahan Diagnosis Dengue ICD 11

Tau dong, WHO sudah meluncurkan ICD seri 11, untuk menggantikan ICD 10. Ada perubahan signifikan...

  • May 02, 2020
Rangkuman Webinar PAPDI 30 April 2020

Bagus banget webinar PAPDI kemarin, tanggal 30 April 2020. Terutama materi yang dijelaskan Dr....